Selasa, 29 April 2014

REFORMASI BIROKRASI PUBLIK

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya"



A.   PENDAHULUAN


Sebagaimana telah kita ketahui bahwa pengertian Birokrasi memiliki banyak makna dimana pengertian satu sama lain ada yang sejalan bahkan ada pula yang bertentangan. Namun secara umum Birokrasi dapat dimaknai sebagai suatu proses Administrasi yang dilakukan oleh pegawai sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. Merujuk pada pengertian tersebut maka tugas pemerintah pada hakekatnya adalah sebagai pelayan masyarakat.

Dalam prakteknya ternyata Birokrasi Pemerintah ini sedikit banyak telah mengalami pergeseran nilai dan tujuan diciptakannya sistem birokrasi tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat ini merupakan pelayanan monopoli, dimana pelayanan tersebut hanya dapat diperoleh pada lembaga pemerintah. Hal ini menyebabkan rakyat sangat tergantung pada pejabat pemerintah tersebut dan bukan pejabat yang tergantung pada rakyatnya. Rakyat tidak punya pilihan lain selain menggunakan jasa layanan itu. Maka ketika hari ini ada masyarakat yang mengeluh (complain) dengan buruknya layanan tersebut, besok pagi ia akan datang lagi untuk meminta layanan selanjutnya. Akibat yang selanjutnya timbul adalah bahwa pejabat pemerintah ini melayani masyarakatnya dengan setengah hati. Baik buruk layanan yang diberikan tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jabatan yang didudukinya.



Keterpurukan perekonomian Indonesia pada akhir tahun 2007 membawa dampak kepada ketidakpercayaan masyarakat pada legitimasi pemerintah pada saat itu. Krisis moneter yang tak kunjung terselesaikan dan segala akibat lainya yang timbul secara beruntun menjadikan Indonesia mengalami guncangan yang sangat besar. Segala bentuk protes dilakukan dengan berbagai aksi menuntut penyelesaian krisis tersebut. Sebagai puncaknya pada awal tahun 2008 terjadi demonstrasi besar – besaran yang dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kalangan menuntut perombakan pemerintahan. Mereka menyebutnya REFORMASI.



Reformasi yang mereka inginkan itu bukanlah sekedar reformasi personil pemerintah sebagai penyelenggara Negara tersebut, melainkan reformasi di segala bidang. Reformasi dalam bidang Hukum dan perundang-undangan, reformasi ekonomi, reformasi sosial, reformasi politik, bahkan sampai pada reformasi birokrasi sebagai salah satu komponen  mesin pemerintahan.

Pada era Soeharto (Presiden ke-2 RI) penyelenggaraan  pemerintahan lebih didasarkan kepada anggapan bahwa Pemerintah adalah penguasa (raja) dimana pola hirarki yang terbentuk melaksanakan fungsi melayani rajanya. Adanya keterikatan hirarki dalam birokrasi tersebut menyebabkan seorang pegawai sebagai salah satu unsur birokrasi memiliki kepatuhan yang mutlak terhadap atasannya, karena baik buruknya penilaian atasan sangat menentukan. Tidak heran bila pada masa itu birokrasi sering disebut sebagai “Kerajaan Pejabat”. Pola seperti itu membawa akibat kepada dikesampingkanya fungsi utama yaitu sebagai pelayan masyarakat.  

Seiring dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru, di era reformasi telah banyak memberikan harapan dan peluang bagi upaya perubahan dan perbaikan dalam bidang pemerintahan. Dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan dan pembangunan saat ini telah terjadi perubahan yang ditandai dengan pemberian peluang yang semakin besar terhadap peran aktif  masyarakat, baik dalam bidang pembangunan fisik, pendidikan, penegakan hukum, penghormatan hak-hak asasi manusia dan pemberantasan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Salah satu perubahan yang menonjol dan hingga kini terus diupayakan adalah berkenaan dengan cara pandang (pemikiran) mengenai hubungan timbal balik (interaksi) antara pemerintah dengan masyarakatnya yang berkaitan persoalan-persoalan politik dan juga kebijakan (policy), sosial dan ekonomi dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Harus disadari bahwa dalam negara hukum yang demokratis dan berkeadilan, pemerintah harus memberdayakan masyarakatnya untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Masyarakatlah yang paling mengetahui kebutuhan, harapan dan masalah-masalah yang dihadapinya. Oleh karena itu harus ada hubungan kesetaraan/kemitraan yang serasi dan seimbang antara pemerintah dengan masyarakatnya.

PATOLOGI BIROKRASI

Secara umum pergeseran nilai atau fungsi birokrasi tersebut dikarenakan adanya Patologi (penyakit) birokrasi antara lain :
1.      Parkinsonian yaitu terjadinya proses pertambahan jumlah personil dalam pemekaran struktur yang tidak terkendali, dimana pemekaran tersebut bukan didasarkan pada tuntutan fungsi, melainkan untuk memenuhi kebutuhan struktur baru tersebut.
Hal ini dapat menimbulkan inefisiensi biaya serta tidak tercapainya tujuan organisasi. Pemekaran struktur hanya akan menambah besarnya biaya yang dikeluarkan tetapi tidak menambah output produk yang dihasilkan. Dengan kata lain Pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Maka apabila organisasi birokrasi ini disamakan sebagai sebuah perusahaan swasta, ia akan menjadi perusahaan yang selalu merugi.

2.      Orwellian yaitu proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat sangat dikendalikan oleh birokrasi.
Adanya anggapan bahwa kekuasaan merupakan suatu kekuatan super power, paling benar dan tidak dapat dikritik atau dikoreksi menyebabkan masyarakat menjadi tidak berdaya. Ketergantungan masyarakat terhadap birokrasi mengakibatkan masyarakat mensakralkan kekuasaan birokrasi tersebut. 

Akhir-akhir ini ada pernyataan bahwa Reformasi birokrasi dalam bidang keuangan di indonesia saat ini dianggap gagal berkenaan dengan terbongkarnya kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh Gayus Halomoan Partahanan Tambunan (Gayus Tambunan) salah seorang pegawai ditjen pajak. Suatu sistem perpajakan yang telah dibuat sedemikian detail dan ketat dapat dibobol oleh seorang staf pegawai golongan III A. 
Reformasi Birokrasi
Sebagai reaksi atas tuntutan masyarakat untuk mengembalikan fungsi Pemerintah (Government) sebagai penyelenggara negara dan sebagai pelayan masyarakat maka birokrasi pemerintah harus mewujudkan Kepemerintahan yang baik (Good Governance). Rakyat harus menjadi obyek utama yang menikmati layanan birokrasi tersebut. Pengembangan konsep, visi, misi dan perubahan sikap aparatur harus dapat menjawab tantangan perubahan saat ini. Salah satu indikatornya adalah bahwa produktifitas kerja harus ditingkatkan dan hendaknya dapat memberikan hasil yang maksimal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian Reformasi Birokrasi adalah upaya menggeser/merubah fungsi birokrasi menjadi sistem pelayanan sebagaimana pelayanan organisasi swasta yang mengedepankan  mutu layanan dengan tujuan utama memberikan kepuasan pelanggan, dalam hal ini masyarakat.
Namun demikian dalam lingkungan birokrasi publik yang bidang kerjanya adalah pelayanan jasa, maka terkadang sangat sulit untuk menentukan tingkat keberhasilan yang diperoleh, sebab tingkat keberhasilan tersebut tidak hanya diukur dari kuantitas layanan atau seberapa banyak layanan yang dihasilkan, melainkan bagaimana kualitas layanan tersebut. Dalam hal ini penilaian atas hasil layanan tersebut tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai penyedia layanan, melainkan harus pula dilihat dari sudut penilaian masyarakat sebagai pemakai atau penerima layanan.

Menurut Djunaidi AS (2002) birokrasi harus memiliki kebijakan dan misi yang jelas yakni :
v  Birokrasi sebaiknya berperan sebagai pengarah, memberikan kemudahan dan kesempatan.
v  Menggerakkan inisiatif masyarakat daripada mengelola pelayanan sendiri.
v  Mendorong kompetisi untuk pelayanan.
v  Mempermudah peraturan dan mengembangkan wawasan masyarakat melalui aturan.
v  Mengutamakan hasil dan kinerja.
v  Mengutamakan pelayanan masyarakat.
v  Profit orientied daripada Cost orientied.
v  Upaya pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
v  Desentralisasi serta menciptakan partisipasi dan tim kinerja.
v  Memfungsikan kekuatan proses.

Adapun unsur-unsur penting dan utama yang mampu merespon kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta dapat mendukung terwujudnya Kepemerintahan yang baik (Good Governance) menurut Djunaidi yaitu :
v  Akuntabilitas (Acountability), yaitu kewajiban birokrasi untuk memberikan pertanggungjawaban, menerangkan kinerja serta memberikan tindakan seseorang atau pimpinan unit kerja kepada pihak yang memiliki wewenang menurut pertanggung jawaban (politik, keuangan dan hukum).
v  Tansparansi, yaitu dapat diketahui oleh banyak pihak yang berkepentingan mengenai perumusan pertanggungjawaban dari pemerintah, organisasi atau badan usaha.
v  Keterbukaan yaitu memberikan informasi secara terbuka dan menerima kritik yang bersifat membangun atau memperbaiki.
v  Aturan hukum yaitu semua keputusan, kebijakan pemerintah, organisasi atau badan usaha harus berdasarkan hukum dan peraturan yang sah.
v  Keadilan yaitu perlakuan yang adil kepada semua pihak.
v  Partisipasi yaitu adanya kehendak dan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.


BUDAYA KERJA ORGANISASI PEMERINTAH
Budaya kerja adalah suatu pola kerja yang berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaannya. Nilai-nilai tersebut berawal dari adat kebiasaan, norma, agama dan kaidah yang menjadi keyakinan dan kebiasaan dalam perilaku kerja suatu organisasi. Berpijak dari nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, kebudayaan kemudian diolah sedemikian rupa sehingga menjadi nilai-nilai baru yang menjadi sikap dan perilaku manajemen dalam menghadapi tantangan baru.
Budaya kerja atau dapat disebut pula sebagai Budaya Organisasi dapat dimaknai pula sebagai nilai-nilai dominan yang disebarluaskan dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan/pegawai. Menurut pendapat Schein (1985) budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu terhadap organisasi-organisasi lain.
Sedangkan Budaya kerja organisasi adalah manajemen yang meliputi pengembangan, perencanaan, produksi dan pelayanan suatu produk yang berkualitas dalam arti optimal, ekonomis dan memuaskan.
Robins (2001) memberikan 7 (tujuh) karakter budaya organisasi sebagi berikut :
  1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko.
  2. Perhatian terhadap detail
  3. Berorientasi kepada hasil
  4. Berorientasi kepada manusia
  5. Berorientasi kepada tim
  6. Agresif
  7. Stabil
Kreitner dan Kinicki (1992) mendefinisikan budaya organisasi perekat organisasi yang mengikat anggota organisasi melalui nilai-nilai yang ditaati, peralatan simbolik dan cita-cita sosial yang ingin dicapai.
     
Bangsa Jepang pada tahun 1970-an berhasil mencapai kemajuan yang fantastik dalam melakukan manajemen kualitas yang bersumber dari budaya yang dimiliki bangsa tersebut yang dikombinasikan dengan teknik-teknik manajemen modern. Pada mulanya mereka mengundang para ahli dari Amerika Serikat yang bernama Prof. Dr. Edward Deming dan Prof. Dr.Juran. Kemudian upaya dari kedua ahli tersebut diolah sesuai dengan budaya bangsa Jepang oleh Prof. Dr. Kauro Ishikawa, dengan melakukan manajemen kualitas berdasar pada kerja kelompok dan partisipatif.
Proses dari suatu pengambilan keputusan dalam budaya Jepang diawali dengan melakukan diskusi dan konsultasi (nemawashi) secara informal, untuk saling tukar informasi dan menyamakan pendapat, sehingga mencapai sebuah kesepahaman bersama (konsensus). Uniknya mereka melakukan pertukaran informasi itu tanpa mengenal waktu disetiap tempat. Sambil bermain golf, pada saat makan siang bahkan pada malam hari saat berkaraoke. Berbagai jenis informasi dikumpulkan dan diolah. Setelah kesepahaman tersebut dicapai kemudian hasilnya dituangkan dalam suatu dokumen usulan tertulis (rin-gi) untuk diajukan dan diteruskan ke kantor pusatnya / kepada top manajemen sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan. 
Keberhasilan Jepang membangun perekonomiannya mendorong bangsa-bangsa lain ingin meniru dan mengembangkan sendiri sesuai dengan budaya yang mereka miliki dengan nama beraneka ragam.
Dengan menerapkan manajemen kualitas Budaya Kerja tersebut di benua Asia bermunculan negara-negara industri baru seperti: Korea, Taiwan, Hongkong, Singapore, Thailand, Malaysia dan Indonesia.     

PENERAPAN BUDAYA KERJA ORGANISASI PEMERINTAH
a. Pembenahan Struktur Organisasi
Dalam penyusunan struktur organisasi hendaknya memperhatikan kebutuhan organisasi tersebut. Struktur disusun sedemikian rupa dimana masing-masing personil mempunyai peran dan tugas yang cukup dominan sehingga seluruh anggota organisasi memiliki daya guna yang signifikan. Fungsi struktur berbeda-beda namun saling mendukung dan mengarah pada tujuan kualitas yang lebih baik dengan partisipasi menyeluruh. Hal ini untuk menghindari terjadinya patologi (penyakit) birokrasi dimana pertambahan jumlah personil dalam pemekaran struktur tidak terkendali, sehingga organisasi hanya kaya struktur tapi miskin fungsi.

b. Komitmen Manajemen Puncak.
Manajemen Puncak (Top Management) memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan berhasil tidaknya suatu organisasi. Banyak terjadi kegagalan dalam suatu organisasi disebabkan kurang komitmennya manajemen puncak. Pimpinan yang memiliki tugas memberikan bimbingan, arahan dan dorongan juga harus komitmen terhadap resiko yang menjadi tanggung jawabnya. Pemimpin harus menghargai potensi yang ada pada bawahannya serta harus menyadari bahwa kerjasama merupakan suatu kekuatan yang dapat menghasilkan kinerja yang baik guna mencapai tujuan organisasi.
c. Komunikasi
Komunikasi dalam budaya kerja memiliki peran sebagai jembatan penghubung antar aktor organisasi. Tanpa adanya komunikasi maka sumber daya manusia dalam organisasi tersebut tersekat-sekat sehingga penyebaran informasi tidak mencapai sasaran. Akibatnya partisipasi SDM dalam upaya pengambilan keputusan tidak dapat atau sulit dilakukan. Dengan adanya komunikasi yang terbuka, maka kerjasama dan koordinasi dalam manajemen akan menjadi mudah.
d. Motivasi
Motivasi merupakan komponen yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan suatu proses kerja, karena merupakan unsur pendorong bagi seseorang untuk melakukan pekerjaan dengan lebih giat. Dalam memberikan motivasi hendaknya pemimpin mengetahui/memahami karakter dan kemampuan masing-masing bawahannya. Dengan demikian maka pemberian motivasinyapun disesuaikan dengan karakter dan kepribadian tersebut. Motivasi/dorongan tidak hanya berasal dari pimpinan atau orang lain melainkan juga dapat berasal dari dalam dirinya sendiri, yaitu berupa kesadaran untuk bekerja lebih baik, menunjukkan bahwa dirinya mampu memberikan yang terbaik bagi organisasinya.
e. Lingkungan kerja       
Pengkondisian lingkungan kerja yang baik sangat diperlukan sebagai faktor penunjang keberhasilan penerapan budaya kerja. Dengan kata lain bahwa kondisi kerja yang baik dan harmonis sangat menunjang keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Prof. Dr. Kusnadu Harasumantri menyatakan bahwa kekuatan SDM itu bukan kekuatan jasmani atau jiwa yang dimiliki, tetapi kekuatan tersebut terletak pada semangat dan kemampuan kerja. Kerjasama yang baik akan mampu meningkatkan mutu dan mutu yang dipertahankan dan dikembangkan akan menjadi Budaya kerja.
Menurut Isaken, S.G Dorval KB & Treffinger, D.J dalam bukunya Creative Approaches To Problem Solving mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif meliputi beberapa dimensi seperti:
1.      Tantangan, keterlibatan dan kesungguhan,
2.      Kebebasan mengambil keputusan,
3.      Waktu yang tersedia untuk memikirkan ide-ide baru,
4.      Memberikan peluang untuk mencoba ide-ide baru,
5.      Tinggi rendahnya tingkat konflik,
6.      Keterlibatan dalam tukar pendapat,
7.      Kesempatan humor, bercanda dan bersantai,
8.      Tingkat saling kepercayaan dan keterbukaan,
9.      Keberanian menanggung resiko/boleh gagal.
Dengan dimensi lingkungan kerja seperti diatas memberi peluang semua untus manajemen/administrasi dapat berfungsi seperti apa yang diharapkan.

f. Disiplin
Disiplin memiliki dampak yang kuat terhadap suatu organisasi untuk mencapai keberhasilan atau tujuan yang diharapkan. Sun Tzu dalam bukunya Art Of War mengatakan bahwa segala macam kebijaksanaan tidak mempunyai arti apabila tidak didukung oleh disiplin oleh para pelaksananya. Sehubungan organisasi adalah pemberdayaan orang, maka dalam menempatkan orang harus dipelajari dengan sungguh-sungguh bakat dan ketrampilan yang dimiliki, sehingga disiplin organisasi dapat ditegakkan.

Senin, 14 April 2014

Teori Birokrasi menurut Max Weber

"Jadilah orang yang membuat orang lain merasa kehilangan karena kepergiannya, bukan membuat orang lain merasa bahagia dengan ketidakberadaannya"

Teori Birokrasi (teori klasik organisasi 1)

Birokrasi berhubungan dengan organisasi masyarakat yang disusun secara ideal. Birokrasi dicapai melalui formalisasi aturan, struktur, dan proses di dalam organisasi. Para teoritikus klasik seperti Fayol (1949), Taylor (1911), dan Weber (1948), selama bertahun-tahun telah mendukung model birokrasi guna meningkatkan efektivitas administrasi organisasi. Max Weber adalah sosok yang dikenal sebagai bapak birokrasi. Menurut Weber (1948), organisasi birokrasi yang ideal menyertakan delapan karakteristik struktural.
Pertama, aturan-aturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan dan arah tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas organisasi. Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas organisasi.
Kedua, spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada divisi pekerja untuk menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan tugas yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang rumit ke dalam aktivitas khusus tersebut, maka produktivitas pekerja dapat ditingkatkan.
Ketiga, hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi.
Keempat, pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tehnik yang mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.
Kelima, mampu tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda.  Mampu tukar ini menekankan pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.
Keenam, impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil di antara anggota organisasi mengarahkan individu ke dalam kinerja tugas organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi harus berkonsentrasi pada tujuan organisasi dan mengutamakan tujuan dan kebutuhan sendiri. Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang tinggi dari tugas-tugas organisasi di dalam perbandingannya dengan prioritas yang rendah dari anggota organisasi individu.
Ketujuh, uraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota organisasi sebagai garis besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya. Pekerja harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.
Kedelapan, rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapaian tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas perusahaan. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan dengan kaidah dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa diprediksikan.

Birokrasi  menurut max weber :
Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.

  1. KELEBIHAN SISTEM BIROKRASI MAX WEBER: 
 Ada Aturan, Norma, dan Prosedur untuk Mengatur Organisasi Dalam model teori birokrasi Max Weber, ditekankan mengenai pentingnya peraturan. Weber percaya bahwa peraturan seharusnya diterapkan secara rasional dan harusnya ada peraturan untuk segala hal dalam organisasi. Tentunya, peraturan-peraturan itu tertulis. Dengan demikian, organisasi akan mempunyai pedoman dalam menjalankan tugas-tugasnya 

KEKURANGAN SISTEM BIROKRASI MAX WEBER:
Hierarki Otoritas Yang Formal Malahan Cenderung Kaku
Karena sistem hierarki perusahaan, maka bawahan akan segan menyapa atasannya kalau tidak benar-benar perlu. Hal ini menciptakan suasana formal yang malah cenderung kaku dalam organisasi.

birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai departemen pemerintah dan cabang-cabangnya memeperebutkan diri untuk mereka sendiri atas sesama warga negara. Kamus teknik bahasa Italia terbit 1823 mengartikan birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan.
Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998).


Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
  1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
  2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai
  1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat,
  2. Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.

REFORMASI BIROKRASI PUBLIK

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya" A.    PENDAHULUAN Sebagaimana telah kita k...