A.
PENDAHULUAN
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa pengertian Birokrasi memiliki
banyak makna dimana pengertian satu sama lain ada yang sejalan bahkan ada pula
yang bertentangan. Namun secara umum Birokrasi dapat dimaknai sebagai suatu
proses Administrasi yang dilakukan oleh pegawai sebagai bentuk pelayanan kepada
masyarakat. Merujuk pada pengertian tersebut maka tugas pemerintah pada
hakekatnya adalah sebagai pelayan masyarakat.
Dalam prakteknya ternyata Birokrasi Pemerintah ini sedikit banyak
telah mengalami pergeseran nilai dan tujuan diciptakannya sistem birokrasi
tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat ini merupakan pelayanan monopoli, dimana pelayanan tersebut hanya
dapat diperoleh pada lembaga pemerintah. Hal ini menyebabkan rakyat sangat
tergantung pada pejabat pemerintah tersebut dan bukan pejabat yang tergantung
pada rakyatnya. Rakyat tidak
punya pilihan lain selain menggunakan jasa layanan itu. Maka ketika hari ini
ada masyarakat yang mengeluh (complain) dengan buruknya layanan tersebut, besok
pagi ia akan datang lagi untuk meminta layanan selanjutnya. Akibat yang
selanjutnya timbul adalah bahwa pejabat pemerintah ini melayani masyarakatnya
dengan setengah hati. Baik buruk layanan yang diberikan tidak akan memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap jabatan yang didudukinya.
Keterpurukan perekonomian Indonesia pada akhir tahun 2007
membawa dampak kepada ketidakpercayaan masyarakat pada legitimasi pemerintah
pada saat itu. Krisis moneter yang tak kunjung terselesaikan dan segala akibat
lainya yang timbul secara beruntun menjadikan Indonesia mengalami guncangan yang
sangat besar. Segala bentuk
protes dilakukan dengan berbagai aksi menuntut penyelesaian krisis tersebut. Sebagai
puncaknya pada awal tahun 2008 terjadi demonstrasi besar – besaran yang
dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kalangan menuntut perombakan
pemerintahan. Mereka menyebutnya REFORMASI.
Reformasi yang mereka inginkan itu bukanlah
sekedar reformasi personil pemerintah sebagai penyelenggara Negara tersebut,
melainkan reformasi di segala bidang. Reformasi dalam bidang Hukum dan
perundang-undangan, reformasi ekonomi, reformasi sosial, reformasi politik,
bahkan sampai pada reformasi birokrasi sebagai salah satu komponen mesin pemerintahan.
Pada era Soeharto (Presiden ke-2 RI)
penyelenggaraan pemerintahan lebih
didasarkan kepada anggapan bahwa Pemerintah adalah penguasa (raja) dimana pola
hirarki yang terbentuk melaksanakan fungsi melayani rajanya. Adanya keterikatan
hirarki dalam birokrasi tersebut menyebabkan seorang pegawai sebagai salah satu
unsur birokrasi memiliki kepatuhan yang mutlak terhadap atasannya, karena baik
buruknya penilaian atasan sangat menentukan. Tidak heran bila pada masa itu
birokrasi sering disebut sebagai “Kerajaan Pejabat”. Pola seperti itu membawa
akibat kepada dikesampingkanya fungsi utama yaitu sebagai pelayan masyarakat.
Seiring dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru,
di era reformasi telah banyak memberikan harapan dan peluang bagi upaya
perubahan dan perbaikan dalam bidang pemerintahan. Dalam penyelenggaraan sistem
pemerintahan dan pembangunan saat ini telah terjadi perubahan yang ditandai
dengan pemberian peluang yang semakin besar terhadap peran aktif masyarakat, baik dalam bidang pembangunan
fisik, pendidikan, penegakan hukum, penghormatan hak-hak asasi manusia dan
pemberantasan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Salah satu perubahan yang menonjol dan hingga kini terus diupayakan
adalah berkenaan dengan cara pandang (pemikiran) mengenai hubungan timbal balik
(interaksi) antara pemerintah dengan masyarakatnya yang berkaitan
persoalan-persoalan politik dan juga kebijakan (policy), sosial dan ekonomi
dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Harus disadari bahwa dalam negara hukum yang demokratis
dan berkeadilan, pemerintah harus memberdayakan masyarakatnya untuk berperan
aktif dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pembangunan.
Masyarakatlah yang paling mengetahui kebutuhan, harapan dan masalah-masalah
yang dihadapinya. Oleh karena
itu harus ada hubungan kesetaraan/kemitraan yang serasi dan seimbang antara
pemerintah dengan masyarakatnya.
PATOLOGI BIROKRASI
Secara umum pergeseran nilai atau fungsi birokrasi
tersebut dikarenakan adanya Patologi (penyakit) birokrasi antara lain :
1. Parkinsonian yaitu terjadinya proses
pertambahan jumlah personil dalam pemekaran struktur yang tidak terkendali,
dimana pemekaran tersebut bukan didasarkan pada tuntutan fungsi, melainkan
untuk memenuhi kebutuhan struktur baru tersebut.
Hal ini dapat menimbulkan
inefisiensi biaya serta tidak tercapainya tujuan organisasi. Pemekaran struktur
hanya akan menambah besarnya biaya yang dikeluarkan tetapi tidak menambah
output produk yang dihasilkan. Dengan kata lain Pengeluaran lebih besar
daripada pendapatan. Maka apabila organisasi birokrasi ini disamakan sebagai
sebuah perusahaan swasta, ia akan menjadi perusahaan yang selalu merugi.
2. Orwellian yaitu proses pertumbuhan
kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat sangat
dikendalikan oleh birokrasi.
Adanya anggapan bahwa
kekuasaan merupakan suatu kekuatan super power, paling benar dan tidak dapat
dikritik atau dikoreksi menyebabkan masyarakat menjadi tidak berdaya. Ketergantungan
masyarakat terhadap birokrasi mengakibatkan masyarakat mensakralkan kekuasaan
birokrasi tersebut.
Akhir-akhir ini ada pernyataan bahwa Reformasi
birokrasi dalam bidang keuangan di indonesia saat ini dianggap gagal berkenaan
dengan terbongkarnya kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh Gayus Halomoan
Partahanan Tambunan (Gayus Tambunan) salah seorang pegawai ditjen pajak. Suatu
sistem perpajakan yang telah dibuat sedemikian detail dan ketat dapat dibobol
oleh seorang staf pegawai golongan III A.
Reformasi Birokrasi
Sebagai reaksi atas tuntutan masyarakat untuk
mengembalikan fungsi Pemerintah (Government) sebagai penyelenggara negara dan
sebagai pelayan masyarakat maka birokrasi pemerintah harus mewujudkan
Kepemerintahan yang baik (Good Governance). Rakyat harus menjadi obyek utama
yang menikmati layanan birokrasi tersebut. Pengembangan konsep, visi, misi dan
perubahan sikap aparatur harus dapat menjawab tantangan perubahan saat ini. Salah
satu indikatornya adalah bahwa produktifitas kerja harus ditingkatkan dan
hendaknya dapat memberikan hasil yang maksimal. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pengertian Reformasi Birokrasi adalah upaya menggeser/merubah fungsi
birokrasi menjadi sistem pelayanan sebagaimana pelayanan organisasi swasta yang
mengedepankan mutu layanan dengan tujuan
utama memberikan kepuasan pelanggan, dalam hal ini masyarakat.
Namun demikian dalam lingkungan birokrasi publik
yang bidang kerjanya adalah pelayanan jasa, maka terkadang sangat sulit untuk
menentukan tingkat keberhasilan yang diperoleh, sebab tingkat keberhasilan
tersebut tidak hanya diukur dari kuantitas layanan atau seberapa banyak layanan
yang dihasilkan, melainkan bagaimana kualitas layanan tersebut. Dalam hal ini
penilaian atas hasil layanan tersebut tidak hanya dapat dilakukan oleh
pemerintah sebagai penyedia layanan, melainkan harus pula dilihat dari sudut
penilaian masyarakat sebagai pemakai atau penerima layanan.
Menurut Djunaidi AS (2002) birokrasi harus
memiliki kebijakan dan misi yang jelas yakni :
v Birokrasi sebaiknya berperan sebagai
pengarah, memberikan kemudahan dan kesempatan.
v Menggerakkan inisiatif masyarakat daripada mengelola pelayanan
sendiri.
v Mendorong kompetisi untuk pelayanan.
v Mempermudah peraturan dan mengembangkan
wawasan masyarakat melalui aturan.
v Mengutamakan hasil dan kinerja.
v Mengutamakan pelayanan masyarakat.
v Profit orientied daripada Cost orientied.
v Upaya pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
v Desentralisasi serta menciptakan
partisipasi dan tim kinerja.
v Memfungsikan kekuatan proses.
Adapun unsur-unsur penting dan utama yang mampu merespon kebutuhan
dan aspirasi masyarakat serta dapat mendukung terwujudnya Kepemerintahan yang
baik (Good Governance) menurut Djunaidi yaitu :
v Akuntabilitas
(Acountability), yaitu kewajiban birokrasi untuk
memberikan pertanggungjawaban, menerangkan kinerja serta memberikan tindakan
seseorang atau pimpinan unit kerja kepada pihak yang memiliki wewenang menurut
pertanggung jawaban (politik, keuangan dan hukum).
v Tansparansi, yaitu dapat diketahui oleh banyak pihak yang berkepentingan
mengenai perumusan pertanggungjawaban dari pemerintah, organisasi atau badan
usaha.
v Keterbukaan yaitu memberikan informasi secara terbuka
dan menerima kritik yang bersifat membangun atau memperbaiki.
v Aturan
hukum yaitu semua keputusan,
kebijakan pemerintah, organisasi atau badan usaha harus berdasarkan hukum dan
peraturan yang sah.
v Keadilan yaitu perlakuan yang adil kepada semua
pihak.
v Partisipasi
yaitu adanya kehendak dan
keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.
BUDAYA KERJA ORGANISASI PEMERINTAH
Budaya kerja adalah suatu pola kerja yang berakar pada nilai-nilai
yang dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaannya. Nilai-nilai tersebut
berawal dari adat kebiasaan, norma, agama dan kaidah yang menjadi keyakinan dan
kebiasaan dalam perilaku kerja suatu organisasi. Berpijak dari nilai-nilai yang
dimiliki oleh masyarakat Indonesia,
kebudayaan kemudian diolah sedemikian rupa sehingga menjadi nilai-nilai baru
yang menjadi sikap dan perilaku manajemen dalam menghadapi tantangan baru.
Budaya kerja atau dapat disebut pula sebagai Budaya Organisasi dapat
dimaknai pula sebagai nilai-nilai dominan yang disebarluaskan dalam organisasi
dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan/pegawai. Menurut pendapat Schein (1985) budaya organisasi
mengacu ke suatu sistem makna bersama dianut oleh anggota-anggota yang membedakan
organisasi itu terhadap organisasi-organisasi lain.
Sedangkan Budaya kerja organisasi adalah manajemen yang meliputi pengembangan,
perencanaan, produksi dan pelayanan suatu produk yang berkualitas dalam arti
optimal, ekonomis dan memuaskan.
Robins (2001) memberikan 7 (tujuh) karakter budaya
organisasi sebagi berikut :
- Inovasi dan keberanian mengambil resiko.
- Perhatian terhadap detail
- Berorientasi kepada hasil
- Berorientasi kepada manusia
- Berorientasi kepada tim
- Agresif
- Stabil
Kreitner dan Kinicki (1992) mendefinisikan budaya
organisasi perekat organisasi yang mengikat anggota organisasi melalui
nilai-nilai yang ditaati, peralatan simbolik dan cita-cita sosial yang ingin dicapai.
Bangsa Jepang pada tahun 1970-an berhasil mencapai
kemajuan yang fantastik dalam melakukan manajemen kualitas yang bersumber dari budaya yang dimiliki bangsa tersebut yang
dikombinasikan dengan teknik-teknik manajemen modern. Pada mulanya mereka
mengundang para ahli dari Amerika Serikat yang bernama Prof. Dr. Edward Deming
dan Prof. Dr.Juran. Kemudian upaya dari kedua ahli tersebut diolah sesuai
dengan budaya bangsa Jepang oleh Prof. Dr. Kauro Ishikawa, dengan melakukan
manajemen kualitas berdasar pada kerja kelompok dan partisipatif.
Proses dari suatu pengambilan keputusan dalam budaya Jepang diawali
dengan melakukan diskusi dan konsultasi (nemawashi)
secara informal, untuk saling tukar informasi dan menyamakan pendapat, sehingga
mencapai sebuah kesepahaman bersama (konsensus). Uniknya mereka melakukan pertukaran informasi itu
tanpa mengenal waktu disetiap tempat. Sambil bermain golf, pada saat makan
siang bahkan pada malam hari saat berkaraoke. Berbagai jenis informasi
dikumpulkan dan diolah. Setelah kesepahaman tersebut dicapai kemudian hasilnya
dituangkan dalam suatu dokumen usulan tertulis (rin-gi) untuk diajukan dan diteruskan ke kantor pusatnya / kepada top
manajemen sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan.
Keberhasilan Jepang membangun perekonomiannya mendorong
bangsa-bangsa lain ingin meniru dan mengembangkan sendiri sesuai dengan budaya
yang mereka miliki dengan nama beraneka ragam.
Dengan menerapkan manajemen kualitas Budaya Kerja tersebut di benua
Asia bermunculan negara-negara industri baru seperti: Korea, Taiwan,
Hongkong, Singapore,
Thailand, Malaysia dan Indonesia.
PENERAPAN BUDAYA KERJA ORGANISASI PEMERINTAH
a. Pembenahan Struktur Organisasi
Dalam penyusunan struktur organisasi hendaknya memperhatikan
kebutuhan organisasi tersebut. Struktur disusun sedemikian rupa dimana
masing-masing personil mempunyai peran dan tugas yang cukup dominan sehingga
seluruh anggota organisasi memiliki daya guna yang signifikan. Fungsi struktur berbeda-beda namun saling
mendukung dan mengarah pada tujuan kualitas yang lebih baik dengan partisipasi
menyeluruh. Hal ini untuk menghindari terjadinya patologi (penyakit) birokrasi
dimana pertambahan jumlah personil dalam pemekaran struktur tidak terkendali,
sehingga organisasi hanya kaya struktur tapi miskin fungsi.
b. Komitmen Manajemen Puncak.
Manajemen Puncak (Top Management) memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam menentukan berhasil tidaknya suatu organisasi.
Banyak terjadi kegagalan dalam suatu organisasi disebabkan kurang komitmennya
manajemen puncak. Pimpinan yang memiliki tugas memberikan bimbingan, arahan dan
dorongan juga harus komitmen terhadap resiko yang menjadi tanggung jawabnya.
Pemimpin harus menghargai potensi yang ada pada bawahannya serta harus
menyadari bahwa kerjasama merupakan suatu kekuatan yang dapat menghasilkan
kinerja yang baik guna mencapai tujuan organisasi.
c. Komunikasi
Komunikasi dalam budaya kerja memiliki peran
sebagai jembatan penghubung antar aktor organisasi. Tanpa adanya komunikasi maka
sumber daya manusia dalam organisasi tersebut tersekat-sekat sehingga
penyebaran informasi tidak mencapai sasaran. Akibatnya partisipasi SDM dalam
upaya pengambilan keputusan tidak dapat atau sulit dilakukan. Dengan adanya
komunikasi yang terbuka, maka kerjasama dan koordinasi dalam manajemen akan
menjadi mudah.
d. Motivasi
Motivasi merupakan komponen yang sangat penting
dalam mencapai keberhasilan suatu proses kerja, karena merupakan unsur
pendorong bagi seseorang untuk melakukan pekerjaan dengan lebih giat. Dalam
memberikan motivasi hendaknya pemimpin mengetahui/memahami karakter dan
kemampuan masing-masing bawahannya. Dengan demikian maka pemberian
motivasinyapun disesuaikan dengan karakter dan kepribadian tersebut. Motivasi/dorongan
tidak hanya berasal dari pimpinan atau orang lain melainkan juga dapat berasal
dari dalam dirinya sendiri, yaitu berupa kesadaran untuk bekerja lebih baik,
menunjukkan bahwa dirinya mampu memberikan yang terbaik bagi organisasinya.
e. Lingkungan kerja
Pengkondisian lingkungan kerja yang
baik sangat diperlukan sebagai faktor penunjang keberhasilan penerapan budaya
kerja. Dengan kata lain bahwa kondisi kerja yang baik dan harmonis sangat
menunjang keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Prof. Dr. Kusnadu Harasumantri
menyatakan bahwa kekuatan SDM itu bukan kekuatan jasmani atau jiwa yang
dimiliki, tetapi kekuatan tersebut terletak pada semangat dan kemampuan kerja.
Kerjasama yang baik akan mampu meningkatkan mutu dan mutu yang dipertahankan
dan dikembangkan akan menjadi Budaya kerja.
Menurut Isaken, S.G Dorval KB
& Treffinger, D.J dalam bukunya Creative Approaches To Problem Solving
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif meliputi
beberapa dimensi seperti:
1. Tantangan, keterlibatan dan kesungguhan,
2. Kebebasan mengambil keputusan,
3. Waktu yang tersedia untuk memikirkan
ide-ide baru,
4. Memberikan peluang untuk mencoba ide-ide
baru,
5. Tinggi rendahnya tingkat konflik,
6. Keterlibatan dalam tukar pendapat,
7. Kesempatan humor, bercanda dan bersantai,
8. Tingkat saling kepercayaan dan keterbukaan,
9. Keberanian menanggung resiko/boleh gagal.
Dengan dimensi lingkungan kerja
seperti diatas memberi peluang semua untus manajemen/administrasi dapat
berfungsi seperti apa yang diharapkan.
f. Disiplin
Disiplin memiliki dampak yang
kuat terhadap suatu organisasi untuk mencapai keberhasilan atau tujuan yang
diharapkan. Sun Tzu dalam bukunya Art Of War mengatakan bahwa segala macam
kebijaksanaan tidak mempunyai arti apabila tidak didukung oleh disiplin oleh
para pelaksananya. Sehubungan organisasi adalah pemberdayaan orang, maka dalam
menempatkan orang harus dipelajari dengan sungguh-sungguh bakat dan ketrampilan
yang dimiliki, sehingga disiplin organisasi dapat ditegakkan.